Kegiatan OSPEK sebagai ajang pengenalan kampus bagi mahasiswa baru kembali mendapatkan sorotan masyarakat luas setelah salah satu mahasiswa ITN Malang meninggal dunia saat mengikuti ajang kegiatan tersebut. Begitu tingginya atensi masyarakat terhadap kasus tersebut, sampai mendorong sebuah stasiun televisi swasta nasional mengangkat tema OSPEK sebagai bahan diskusi di forum ILC dan ditayangkan secara langsung. Dalam forum tersebut, seorang profesor sepuh dengan sangat emosional sampai mengusulkan untuk meniadakan saja kegiatan OSPEK (ILC,17/12/2013).
Kegiatan OSPEK dengan diwarnai kekerasan verbal dan fisik yang diberikan mahasiswa senior kepada mahasiswa baru sebenarnya bukan cerita baru, dan hingga saat ini masih sering terjadi di berbagai perguruan tinggi. Ditjen Dikti Kemendikbud sebenarnya sudah memberikan rambu-rambu tentang pelaksanaan kegiatan OSPEK. Hal ini dapat dibaca dalam Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas Nomor 38/DIKTI/Kep/2000, Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 3120/D/T/2001, dan Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 1016/E/T/2011. Dalam Surat Edaran Dirjen Dikti Nomor 1016/E/T/2011 poin pertama bahkan secara jelas menyatakan tentang pelarangan kegiatan OSPEK, namun pada poin ketiga masih memberikan ruang kepada pimpinan perguruan tinggi yang tetap melaksanakan OSPEK untuk bertanggung jawab apabila terjadi suatu insiden.
Sesuai dengan namanya, OSPEK sesungguhnya merupakan kegiatan Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus. Kegiatan ini diberikan kepada para mahasiswa baru sebelum mereka benar-benar menjadi warga kampus. Kegiatan ini merupakan kegiatan institusional, karena itu kualitas pelaksanaannya sepenuhnya menjadi tanggung jawab pimpinan kampus.
Tujuan pokok kegiatan ini adalah untuk menyosialisasikan pelaksanakan kegiatan perkuliahan dan berbagai aktifitas lain yang ada di kampus sebagai sebuah masyarakat ilmiah. Melalui kegiatan OSPEK mahasiswa baru diharapkan mampu belajar dengan baik di lingkungan perguruan tinggi, memahami dan mematuhi norma-norma dan kode etik yang berlaku di kampus sebagai masyarakat ilmiah.
Dengan demikian ada dua hal pokok yang seharusnya melekat dalam kegiatan OSPEK. Pertama, kegiatan orientasi studi di perguruan tinggi. Kedua, pengenalan kampus sebagai masyarakat ilmiah. Kedua kegiatan ini dimaksudkan untuk mempersiapkan mahasiswa baru agar memiliki pemahaman yang baik tentang bagaimana harus belajar di perguruan tinggi. Melalui kegiatan ini, lazimnya mahasiswa diingatkan dengan statusnya yang saat itu sudah berubah dari siswa menjadi mahasiswa. Pada tahap yang paling awal sekali, semua mahasiswa disadarkan bahwa sejak saat itu ia menjadi seorang siswa yang sudah maha.
Dengan predikat ke-maha-an yang melekat pada dirinya, maka ia tidak lagi melaksanakan kegiatan pembelajaran sebagaimana layaknya ketika ia menjadi seorang siswa di sekolah. Kemandirian dalam membelajarkan diri menjadi hal yang tidak bisa ditawar. Kemandirian dalam belajar juga membawa konsekuensi tanggung jawab yang jauh lebih besar. Tanggung jawab kepada dirinya sendiri, keluarganya, dan masyarakat dimana kelak mereka diharapkan akan mengabdikan ilmunya.
Apa makna ke-maha-an yang melekat pada predikatnya sebagai seorang mahasiswa? Hal ini antara lain berkaitan dengan statusnya sebagai warga masyarakat ilmiah. Sebagai warga baru dari masyarakat ilmiah, maka setiap saat ia harus membelajarkan dirinya untuk senantiasa berpikir logis dan kritis yang dilandasi oleh nilai-nilai etik dan moral. Kajian ilmu menjadi menu wajib bagi warga masyarakat ilmiah. Melalui kegiatan kajian, mahasiswa benar-benar diajak untuk mengaji, bukan sekedar mengeja ilmu.
Ukuran ketuntasan dalam kegiatan kajian adalah ketika mahasiswa mampu menangkap makna (meaning) dari ilmu. Inilah yang disebut dengan tercapainya tahap pengertian dan pemahaman tentang ilmu. Dengan dibiasakan untuk bersikap kritis, mahasiswa diajarkan untuk tidak selamanya meng-amin-i dan meng-iman-i apa yang sudah dimengerti dan dipahami.
Mahasiswa diajarkan untuk selalu menjaga jarak dengan ilmu agar ia tetap punya ruang untuk mempertanyakan kebenaran ilmu. Dengan sikap yang demikian, mahasiswa diajarkan juga untuk menyediakan ruang bagi orang lain untuk mengkaji ilmu dari sudut pandang yang berbeda. Dengan demikian ruang kajian ilmu itu tidak pernah sepi dan tertutup. Dan, kelak ia akan sadar bahwa ternyata ketika ia sedang mengkaji ilmu, pada saat itu juga sesungguhnya ia sedang dihinggapi oleh alpha. Maka semakin dalam ia sedang mengkaji ilmu, ia akan semakin gampang merasa lebih banyak dihinggapi oleh alpha. Sikap ini sekaligus akan mengantarkan para pengkaji ilmu untuk melihat segala sesuatu dari berbagai sudut pandang. Sikap kritis seperti inilah yang kelak mengantarkan para pengkaji ilmu mampu mengembangkan sikap kreatif.
Kritis dan kreatif, inilah sikap-sikap positip yang dikembangkan dalam masyarakat ilmiah, dan kelak dapat mengantarkan para pengakji ilmu sebagai sosok yang berwawasan luas. Sebagai sosok yang berwawasan, ia tidak akan gampang kalap ketika menghadapi sebuah persoalan. Ia pasti akan menjauhi sikap bentrok ketika harus menyelesaikan sebuah masalah, karena baginya keberadaan masalah ibarat vitamin yang justru akan menguatkan sikap kritis dan kreatifitasnya. Ia akan menjilma menjadi sosok yang tangguh dengan didukung oleh nilai-nilai humanisme yang melekat pada dirinya.
Oleh karena itu, tidak pernah dijumpai seorang pengkaji ilmu yang berhati congkak, takabur, dan cengengesan. Mereka yang terbiasa melakukan kajian ilmu mengantarkannya sebagai seorang pribadi yang santun, berhati jernih dan lapang, serta gampang legowo ketika berhadapan dengan pengkaji lain yang berpandangan berbeda. Dengan demikian kegiatan kajian ilmu yang menjadi ciri khas masyarakat ilmiah sesungguhnya merupakan tempat persemaian yang subur bagi tumbuhnya sikap toleran, demokratis; dan jauh dari sikap beringas-anarkhis.
Lalu bagaimana apabila di dalam kampus, sebagai masyarakat ilmiah; masih sering dijumpai sebagian warga kampus yang bersikap beringas-anarkhis ketika menghadapi suatu persoalan? Mungkin mereka belum mampu memerankan dirinya sebagai pengkaji ilmu. Bisa jadi ia baru memerankan dirinya sebagai pengeja ilmu, dan baru melihat ilmu tidak lebih dari rangkaian teks; belum sampai menemukan konteks. Kepiawaian seorang pengeja ilmu hanyalah mengungkapkan kembali teks yang ia eja. Ia baru piawai mereplikasi, sebuah kata halus untuk perilaku menjiplak. Maka jangan heran, biasanya para pengeja ilmu selalu miskin sikap kritis dan kreatifitas. Dari para pengeja ilmu inilah kelak hanya akan lahir generasi pengekor, yang kesulitan untuk memerankan dirinya sebagai leader.
Dengan demikian OSPEK seharusnya diisi dengan berbagai aktifitas yang berkaitan dengan penyiapan calon warga kampus sebagai masyarakat ilmiah yang kental dengan kegiatan pengembangan kemampuan berpikir logis dan kritis guna mendukung tumbuhnya sikap kreatif, inovatif, toleran, dan demokratis. Sungguh sangat tidak relevan apabila kegiatan OSPEK masih diwarnai dengan kekerasan verbal dan fisik dari mahasiswa senior kepada para mahasiswa baru dengan alasan agar mahasiswa baru siap menjadi warga kampus. Mari kita kembalikan OSPEK ke kithahnya sebagai ajang untuk menyiapkan mahasiswa agar mampu memerankan dirinya sebagai pengkaji ilmu, dan bukan sekedar pengeja ilmu.
Oleh: Dr. Agus Prianto, staf pengajar Pendidikan Ekonomi, Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan STKIP PGRI Jombang