Manusia adalah satu-satu makhluk Tuhan yang diturunkan ke dunia dalam kondisi belum “jadi”, belum “final”. Bersamaan dengan itu, manusia harus menghadapi dan menghidupi alam lingkungannya yang juga dalam keadaan belum “jadi”, belum “final”. Oleh karena itu, tugas terbesar yang diemban oleh setiap manusia dalam mengarungi kehidupan di dunia adalah men-jadi-kan diri dan lingkungannya agar benar-benar tampil dalam keadaan yang lebih manusiawi. Kelak kita akan dapat memahami, justru karena setiap manusia turun ke dunia dalam keadaan belum “jadi”, dan menghidupi dunia juga dalam kondisi belum “jadi”; maka kita akan berkesempatan untuk tampil sebagai satu-satunya makhluk yang paling mulia di hadapan Tuhan.

Dalam hal-hal tertentu ada kemiripan tampilan manusia dan binatang dalam menjalani kehidupannya di dunia. Manusia makan, minum, bernafas, dan berkembang biak. Pun demikian halnya dengan binatang: makan, minum, bernafas, dan berkembang biak. Manusia dianugerahi Tuhan dengan berbagai macam nafsu, binatang hidup di dunia dengan nafsu. Perbedaan utama antara manusia dan binatang adalah terletak pada pikiran. Manusia dianugerahi Tuhan berupa pikiran, sedangkan binatang tidak memiliki pikiran. Oleh karena adanya kemiripan tampilan manusia dan binatang, Darwin dengan teori evolusinya pernah melontarkan tuduhan bahwa nenek moyang manusia adalah binatang, yaitu kera. Maka muncullah istilah yang kemudian disematkan pada manusia: disebut sebagai hayawanun natiq, atau hewan yang berpikir.

Pikiran, itulah yang membedakan manusia dan binatang. Karena adanya pikiran, maka pada setiap diri manusia memiliki rasa, perasaan. Adanya pikiran membuat manusia mampu berkarya. Karena adanya pikiran pula yang membuat manusia mampu menampilkan kehendak yang dilandasi akal dan budi, bukan sekedar dituntun dan dikendalikan oleh nafsu sebagaimana layaknya binatang berperilaku. Perhatikan, dengan memiliki pikiran, perilaku manusia jauh lebih halus bila dibandingkan dengan binatang. Cara manusia menjalani kehidupan juga jauh lebih keren bila dibandingkan dengan binatang. Lihatlah, bagaimana cara manusia menjalani salah satu aktifitas kehidupan yang paling asasi, misalnya makan. Manusia makan tidak asal nyosor sebagaimana layaknya binatang. Kalau ada manusia makan seperti binatang, maka yang demikian itu kemudian dikategorikan sebagai perilaku yang tidak manusiawi.

Sebagai manusia, kita tidak perlu cemberu dengan binatang yang tampil dan menjalani kehidupan dalam keadaan sudah “jadi” dan “final”. Sebagai makhluk yang sudah “final”, binatang tinggal menghidupi lingkungan sebagaimana adanya. Binatang tidak usah repot-repot mengintervensi diri dan lingkungannya. Binatang tinggal menghidupi lingkungannya dengan apa adanya, men-satu dengan alam. Oleh karena itu, manusia tidak usah iri kalau ada binatang tidak harus repot memasak makanan ketika hendak makan. Binatang tinggal nyosor makanan yang sudah disediakan oleh Tuhan di alam. Binatang tidak perlu repot membuat peralatan masak, membuat bumbu dapur, dan segala aneka racikan makanan. Kita juga tidak usah iri kalau ada binatang yang asal embat ketika ada lawan jenis duduk di sebelahnya. Mereka tidak perlu repot-repot bikin acara ritual kehidupan. Singkat cerita, binatang tinggal menghidupi diri dan lingkungannya sebagaimana ada adanya, tinggal men-satu dengan alam. Diri dan alam lingkungan binatang dikatakan sudah “jadi”, “final”, sudah “tuntas” dan “selesai”. Kita tidak perlu kaget kalau ternyata kera tidak merasa nyaman tidur di hotel berbintang lima, karena sejak dari dulu lingkungan alamnya sudah “final”: hutan belantara.

Berbeda dengan binatang yang tinggal men-satu dan menghidupi diri dan lingkungan  apa adanya, sebagai makhluk yang belum “jadi”, manusia harus men-jadi-kan diri dan lingkungannya agar selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Maka manusia tidak serta merta tunduk pada alam, ia harus men-dua, menjaga jarak dengan alam. Dengan bersikap men-dua dan menjaga jarak dengan alam, kita menyaksikan tampilan manusia yang hiterogen. Kita juga menyaksikan lingkungan tempat tinggal manusia yang terus berkembang dari waktu ke waktu. Dan kita pun kemudian menyaksikan tampilan diri dan lingkungan tempat hidup manusia semakin tampak lebih manusiawi daripada sebelumnya. Hal ini akan bertolak belakang dengan tampilan binatang yang pasti homogen dan statis sepanjang masa.

Apa yang membuat manusia mampu bersikap men-dua, menjaga jarak dengan alam? Ia tidak lain adalah adanya pikiran yang disematkan oleh Tuhan kepada setiap umat manusia. Pikiran yang membuat manusia mampu bersikap kritis. Sikap kritis ditandai dengan kebiasaan manusia untuk selalu mempertanyakan segala hal yang dihadapi dan dihidupi. Maka setiap manusia dalam menjalani kehidupannya akan selalu mengemukakan kata “apa”, “mengapa”, dan “bagaimana”. Dengan kata-kata tersebut, manusia akan mampu membaca tanda-tanda yang diberikan alam untuk diterjemahkan dan dimaknai agar lingkungan alam dapat dihidupi selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Maka jangan heran, tugas utama dan pertama yang diperintahkan oleh Tuhan kepada umat manusia adalah membaca, iqra’!

Sikap kritis juga merupakan bukti kemampuan manusia untuk menjaga jarak dengan alam, dan tidak sekedar menghidupi alam sebagaimana adanya. Inilah puncak perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Manusia mengkreasikan lingkungan alam sesuai dengan kemampuan pemaknaan sebagai akibat dari adanya kegiatan membaca. Kemampuan membaca tanda-tanda alam antara manusia satu dengan yang lain sangat berbeda-beda. Perbedaan daya baca ini phentermine dipengaruhi oleh perbedaan intensitas penggunaan pikiran. Ada manusia yang mengoptimalkan penggunaan pikiran. Tetapi ada juga manusia yang memarkir pikirannya. Instensitas penggunaan pikiran inilah yang kelak akan membedakan sikap kritis seseorang terhadap lingkungannya. Maka, dalam kehidupan ini kita melihat tampilan manusia yang beraneka ragam. Ada tampilan manusia yang tampak “keren”, tetapi tidak sedikit pula tampilan manusia yang masih ndeso dan katrok.

Semakin kritis seseorang, biasanya semakin membuat ia mampu memaknai alam sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan. Anda tidak perlu kaget ketika melihat orang memaknai kayu sebagai “kayu bakar”. Tetapi dihadapan orang yang kritis, kayu bisa dimaknai lebih dari sekedar “kayu bakar”. Ia bisa saja dimaknai sebagai sebuah “ukiran indah” yang bernilai tinggi. Kita lihat, sikap kritis seseorang tanpa terasa mengantarkannya untuk berpikir kreatif.

Berpikir kreatif dapat diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengembangkan ide-ide baru, mencari cara kerja baru, cara pandang baru terhadap berbagai hal yang ada dalam diri dan lingkungannya. Orang yang kreatif dapat melihat satu persoalan dari berbagai sudut padang. Maka orang yang kreatif biasanya juga menunjukkan keluwasan world view-nya. Orang yang kreatif selalu berhati lapang, karena cara pandangnya yang luas terhadap setiap persoalan. Orang yang kreatif tidak akan terburu-buru untuk membuat kesimpulan tentang segala sesuatu. Orang yang kreatif pasti tidak akan menyimpulkan sampah sebagai sumber masalah, karena ternyata ditangan mereka ia bisa dikreasikan menjadi komoditas yang lebih bernilai. Lihatlah, orang yang kreatif ternyata juga menunjukkan kemampuannya untuk berbaik sangka terhadap segala hal. Ia selalu berpikiran positip (positive thinking) terhadap segala hal. Ia selalu berhati damai karena mampu mengontrol diri dan lingkungannya. Ia tidak gampang tersulut emosinya, atau gampang patah hati ketika menghadapi persoalan.

Sikap kritis dan kreativitas akan hanya mampu berkembang dengan baik apabila diikuti oleh kesediaan seseorang untuk mengoptimalkan penggunaan pikiran. Ijinkan saya untuk curiga apabila ada yang mengatakan bahwa telah terjadi degradasi kreativitas dan sikap kritis di kalangan kaum terdidik. Jangan-jangan degradasi kreativitas dan sikap kritis itu terjadi karena banyak kaum terdidik yang berpikiran kosong. Mereka punya pikiran, tetapi pikirannya sedang diparkir. Jangan lupa, salah satu tujuan mulia dari aktifitas pendidikan adalah untuk membantu manusia mengoptimalkan daya pikirannya. Kalau kini ada yang mengatakan telah terjadi degradasi kreativitas dan sikap kritis, jangan-jangan itu merupakan lonceng kematian aktifitas pendidikan. Maka saran saya sangat sederhana, apabila Anda menginginkan selalu mampu berpikir kreatif dan bersikap kritis, maka jangan parkir pikiranmu di dengkul!! (Dr. Agus Prianto, M.Pd)